Situs Minaga Sipako Kalumpang |
Kalumpang
awalnya nama untuk menyebut Situs Kamassi, yaitu situs neolitik yang pertama
kali ditemukan di kawasan tersebut oleh Van Stein Callenfels (bekerja di
lembaga purbakala, Oudheidkundige Dienst). Agar tidak rancu, sebab di Kalumpang
juga ada situs pra sejarah lain, yaitu Minanga Sipakko, maka Situs Kalumpang
menjadi Situs Kamassi (sebab terletak di atas Bukit Kamassi). Kalumpang menjadi
populer dan terkenal secara internasional saat Callenfels mengkomunikasikan
hasil penelitiannya pada Kongres Prasejarah di Manila pada tahun 1951. Sejak
itu, Kalumpang banyak didatangi peneliti baik dalam maupun luar negeri,
khususnya ketika van Heekerean menemukan Situs Minanga Sipakko. Dia menemukan
alat-alat batu berupa kapak batu yang ada kesamaannya dengan alat neolitik
seperti yang ditemukan di Luzon Filipina, di Manchuria, Mongolia, di Hongkong,
dan lainnya.
Kalumpang
terletak di hulu Sungai Karama, sungai terpanjang di Sulawesi Barat. Secara
administratif masuk wilayah Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju. Dari kota
Mamuju, jaraknya sekitar 180km, tapi bila menarik garis lurus dari pantai,
yaitu Pelabuhan Belang-belang, jaraknya hanya sekira 38km. Saat ini, Sulawesi
Barat hanya memiliki satu situs peradaban tertua, yang oleh para arkeolog
menjadi salah satu mata rantai di dalam mengetahui perkembangan manusia pra
sejarah Nusantara, yang terentang 3.600 tahun lalu. Yaitu Kalumpang. Jika ada
pengelompokkan “status sosial” tempat-tempat di Sulawesi Barat berdasar
kesejarahan, maka Kalumpang berada di kasta tertinggi.
Menurut
para arkeolog, kemajuan penelitian sejauh ini membuktikan, Kalumpang dan DAS
(Daerah aliran sungai) Karama sangat kaya akan tinggalan arkeologi yang
mengkait dengan kehidupan Penutur Austronesia – leluhur Bangsa Indonesia
sekarang. Puluhan situs telah teridentifikasi di wilayah tersebut dan baru
sedikit yang sudah/sedang diteliti, antara lain situs Minanga Sipakko dan
Kamassi. Bukti-bukti dari kedua situs ini memperlihatkan Kalumpang telah dihuni
manusia yang nota bene leluhur bangsa Indonesia sejak paling tidak sekitar
3.800 tahun yang lalu dan berlanjut hingga sekarang. Jadi, Kalumpang dan DAS
Karama merupakan wilayah yang sangat penting untuk penelusuran asal-usul,
persebaran, dan perkembangan bangsa Indonesia, karena disinilah bukti-bukti
tertua (untuk Indonesia)dan bukti-bukti keberlanjutannya ke masa yang lebih
kemudian ditemukan.
Atas
potensi itu, Kalumpang dan DAS Karama menjadi salah satu wilayah kunci
pemahaman asal-usul dan perkembangan masyarakat Indonesia dan budayanya serta
interaksinya dengan dunia luar. Dengan demikian wilayah ini tidak hanya penting
untuk pemahaman sejarah dan budaya lokal, tetapi lebih luas lagi, untuk lingkup
nasional dan regional, bahkan untuk lingkup global -kawasan persebaran Penutur
Austronesia - sejak sekitar 4000 tahun yang lalu hingga sekarang.
Dalam
dunia arkeologi Asia, Kalumpang sangat terkenal. Ekskavasi yang pernah
dilaksanakan di wilayah Kalumpang secara ringkas digambarkan sebagai berikut.
Mei 1933 penggalian percobaan dilakukan oleh A.A. Cense di lembah Sungai
Karama. Ditemukan sejumlah alat-alat batu dan gerabah. Penggalian tersebut
memberi arti penting dalam sejarah pertumbuhan kebudayaan prasejarah Indonesia.
Kemudian
pada 25 September sampai 17 Oktober 1933 penggalian oleh P.V. Van Stein
Callefels di sebelah timur bukit Kamassi. Dia memperoleh temuan berbagai alat
dari batu berupa pisau, kapak batu segi empat yang halus, pecahan-pecahan
tembikar yang berdekorasi.
Lalu
pada 13 Agustus hingga September 1949 penggalian oleh Dr. H. R. Van Heekeren,
di bagian selatan puncak bukit Kamassi 13 meter di atas permukaan sungai.
Ditemukan berbagai alat batu dan gerabah berhias. Alat-alat batu berupa kapak
batu yang ada kesamaannya dengan alat neolithic seperti yang ditemukan Luzon,
Filipina, di Manchuria, Mongolia, di Hongkong, dan lain-lainnya.
Gerabah
yang berhias dinilai oleh para ahli arkeologi mempunyai corak yang tinggi dan
desain yang halus memberikan pertanda bahwa kebudayaan Kalumpang terlingkup
satu wilayah “sahuynh kalanay”, desain yang meliputi wilayah Cina, Filipina dan
Vietnam, malah diperkirakan mempengaruhi beberapa daerah Pasifik. Hipotesa itu
dikemukakan oleh Solheim WG. Demikian dikemukakan Drs. Darmawan Masud dalam
kertas ilmiah yang dipresentasikan pada saat Seminar Kebudayaan Mandar I di
Majene pada 31 Juli s.d. 2 Agustus 1984.
Menurut
salah seorang arkeologi dan pernah membuat film dokumenter tentang Kalumpang,
Asfriyanto, “Untuk mencari bukti arkeologis mengenai pertanian orang Kalumpang
purba, justru harus dicari di sekitar perbukitan yang secara spasial jauh dari
tepian sungai saat ini”.
Tambahnya,
“Bukti arkeologis menunjukkan, temuan beliung berbahan batu yang banyak
tersebar di perut Kalumpang mengindikasikan adanya ekploitasi orang Kalumpang
purba pada bidang pertanian. Hal itu dikuatkan juga melalui banyaknya temuan
yang masih utuh maupun pecahan periuk dan belanga dari bahan tanah liat merah”.
Para
ahli arkeologi percaya bahwa penduduk Kalumpang purba merupakan satu suku dari
ras Austronesia yang membawa tradisi pertanian dan gerabah (dua artefak masa lalu
yang berasosasi dengan tradisi pertanian) dari daratan Asia yang bermigrasi ke
daerah ini sekitar 3.500 tahun yang lalu.
Menurut
salah satu pendapat, kaki-kaki perbukitan Kalumpang telah dihuni oleh penduduk
asli sebelum kedatangan orang-orang Proto Melayu pada 3600 SM. Kedatangan kaum
Melayu Tua pun tak lepas dari sejarah pengusiran mereka dari kawasan pesisir
pantai, akibat kedatangan peradaban baru yang dibawah oleh Deutero Melayu, yang
tentu lebih hebat dari segi teknologi dan keterampilan.
Mulanya mereka menghuni daerah
Sipakko, sekitar 1,5 kilometer dari pusat Kecamatan Kalumpang saat ini. Tapi,
karena banjir besar akibat luapan sungai Karama sekitar seribu tahun yang lalu,
warga pun terpencar- pencar. Banyak yang lari ke atas bukit karena trauma akan
banjir yang telah meluluhlantakkan sawah dan pemukimannya.