Selasa, 31 Januari 2012

MENATAP SEJARAH PERADABAN KALUMPANG


Situs Minaga Sipako Kalumpang
Sambil menunjuk, seorang Belanda bertanya pada penduduk setempat, “Apa nama itu di sana?”. Pikirnya yang ditunjuk sebuah pohon besar, penduduk pun menjawab “Kaluppang”. Maka orang Belanda pun menganggap nama kampung yang mereka temukan bernama Kaluppang. Sebab sulit disebut di lidah mereka, Kaluppang menjadi Galumpang. Belakangan, dalam catatan administrasi pemerintahan Belanda, dipakai Kalumpang. Konon demikian asal kata Kalumpang.

Kalumpang awalnya nama untuk menyebut Situs Kamassi, yaitu situs neolitik yang pertama kali ditemukan di kawasan tersebut oleh Van Stein Callenfels (bekerja di lembaga purbakala, Oudheidkundige Dienst). Agar tidak rancu, sebab di Kalumpang juga ada situs pra sejarah lain, yaitu Minanga Sipakko, maka Situs Kalumpang menjadi Situs Kamassi (sebab terletak di atas Bukit Kamassi). Kalumpang menjadi populer dan terkenal secara internasional saat Callenfels mengkomunikasikan hasil penelitiannya pada Kongres Prasejarah di Manila pada tahun 1951. Sejak itu, Kalumpang banyak didatangi peneliti baik dalam maupun luar negeri, khususnya ketika van Heekerean menemukan Situs Minanga Sipakko. Dia menemukan alat-alat batu berupa kapak batu yang ada kesamaannya dengan alat neolitik seperti yang ditemukan di Luzon Filipina, di Manchuria, Mongolia, di Hongkong, dan lainnya.

Kalumpang terletak di hulu Sungai Karama, sungai terpanjang di Sulawesi Barat. Secara administratif masuk wilayah Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju. Dari kota Mamuju, jaraknya sekitar 180km, tapi bila menarik garis lurus dari pantai, yaitu Pelabuhan Belang-belang, jaraknya hanya sekira 38km. Saat ini, Sulawesi Barat hanya memiliki satu situs peradaban tertua, yang oleh para arkeolog menjadi salah satu mata rantai di dalam mengetahui perkembangan manusia pra sejarah Nusantara, yang terentang 3.600 tahun lalu. Yaitu Kalumpang. Jika ada pengelompokkan “status sosial” tempat-tempat di Sulawesi Barat berdasar kesejarahan, maka Kalumpang berada di kasta tertinggi.

Menurut para arkeolog, kemajuan penelitian sejauh ini membuktikan, Kalumpang dan DAS (Daerah aliran sungai) Karama sangat kaya akan tinggalan arkeologi yang mengkait dengan kehidupan Penutur Austronesia – leluhur Bangsa Indonesia sekarang. Puluhan situs telah teridentifikasi di wilayah tersebut dan baru sedikit yang sudah/sedang diteliti, antara lain situs Minanga Sipakko dan Kamassi. Bukti-bukti dari kedua situs ini memperlihatkan Kalumpang telah dihuni manusia yang nota bene leluhur bangsa Indonesia sejak paling tidak sekitar 3.800 tahun yang lalu dan berlanjut hingga sekarang. Jadi, Kalumpang dan DAS Karama merupakan wilayah yang sangat penting untuk penelusuran asal-usul, persebaran, dan perkembangan bangsa Indonesia, karena disinilah bukti-bukti tertua (untuk Indonesia)dan bukti-bukti keberlanjutannya ke masa yang lebih kemudian ditemukan.

Atas potensi itu, Kalumpang dan DAS Karama menjadi salah satu wilayah kunci pemahaman asal-usul dan perkembangan masyarakat Indonesia dan budayanya serta interaksinya dengan dunia luar. Dengan demikian wilayah ini tidak hanya penting untuk pemahaman sejarah dan budaya lokal, tetapi lebih luas lagi, untuk lingkup nasional dan regional, bahkan untuk lingkup global -kawasan persebaran Penutur Austronesia - sejak sekitar 4000 tahun yang lalu hingga sekarang.

Dalam dunia arkeologi Asia, Kalumpang sangat terkenal. Ekskavasi yang pernah dilaksanakan di wilayah Kalumpang secara ringkas digambarkan sebagai berikut. Mei 1933 penggalian percobaan dilakukan oleh A.A. Cense di lembah Sungai Karama. Ditemukan sejumlah alat-alat batu dan gerabah. Penggalian tersebut memberi arti penting dalam sejarah pertumbuhan kebudayaan prasejarah Indonesia.

Kemudian pada 25 September sampai 17 Oktober 1933 penggalian oleh P.V. Van Stein Callefels di sebelah timur bukit Kamassi. Dia memperoleh temuan berbagai alat dari batu berupa pisau, kapak batu segi empat yang halus, pecahan-pecahan tembikar yang berdekorasi.

Lalu pada 13 Agustus hingga September 1949 penggalian oleh Dr. H. R. Van Heekeren, di bagian selatan puncak bukit Kamassi 13 meter di atas permukaan sungai. Ditemukan berbagai alat batu dan gerabah berhias. Alat-alat batu berupa kapak batu yang ada kesamaannya dengan alat neolithic seperti yang ditemukan Luzon, Filipina, di Manchuria, Mongolia, di Hongkong, dan lain-lainnya.

Gerabah yang berhias dinilai oleh para ahli arkeologi mempunyai corak yang tinggi dan desain yang halus memberikan pertanda bahwa kebudayaan Kalumpang terlingkup satu wilayah “sahuynh kalanay”, desain yang meliputi wilayah Cina, Filipina dan Vietnam, malah diperkirakan mempengaruhi beberapa daerah Pasifik. Hipotesa itu dikemukakan oleh Solheim WG. Demikian dikemukakan Drs. Darmawan Masud dalam kertas ilmiah yang dipresentasikan pada saat Seminar Kebudayaan Mandar I di Majene pada 31 Juli s.d. 2 Agustus 1984.

Menurut salah seorang arkeologi dan pernah membuat film dokumenter tentang Kalumpang, Asfriyanto, “Untuk mencari bukti arkeologis mengenai pertanian orang Kalumpang purba, justru harus dicari di sekitar perbukitan yang secara spasial jauh dari tepian sungai saat ini”.

Tambahnya, “Bukti arkeologis menunjukkan, temuan beliung berbahan batu yang banyak tersebar di perut Kalumpang mengindikasikan adanya ekploitasi orang Kalumpang purba pada bidang pertanian. Hal itu dikuatkan juga melalui banyaknya temuan yang masih utuh maupun pecahan periuk dan belanga dari bahan tanah liat merah”.

Para ahli arkeologi percaya bahwa penduduk Kalumpang purba merupakan satu suku dari ras Austronesia yang membawa tradisi pertanian dan gerabah (dua artefak masa lalu yang berasosasi dengan tradisi pertanian) dari daratan Asia yang bermigrasi ke daerah ini sekitar 3.500 tahun yang lalu.

Menurut salah satu pendapat, kaki-kaki perbukitan Kalumpang telah dihuni oleh penduduk asli sebelum kedatangan orang-orang Proto Melayu pada 3600 SM. Kedatangan kaum Melayu Tua pun tak lepas dari sejarah pengusiran mereka dari kawasan pesisir pantai, akibat kedatangan peradaban baru yang dibawah oleh Deutero Melayu, yang tentu lebih hebat dari segi teknologi dan keterampilan.

Mulanya mereka menghuni daerah Sipakko, sekitar 1,5 kilometer dari pusat Kecamatan Kalumpang saat ini. Tapi, karena banjir besar akibat luapan sungai Karama sekitar seribu tahun yang lalu, warga pun terpencar- pencar. Banyak yang lari ke atas bukit karena trauma akan banjir yang telah meluluhlantakkan sawah dan pemukimannya.

4 komentar:

  1. mas sy bisa minta email atau kontak person nya
    soalnya sy mau berbincang2 soal di pulau karampuang ?

    BalasHapus
  2. Mantappp saya sangat bangga ada yg ingin menggali sejara kalumpang agar mata kita terbuka bahwa dari sinilah kita berasal.. perlahan kalumpang akan diakui dunia bahwa darisinilah berawal peradaban seluruh indonesia.. #bravo #supardiAchmat #kalumpangAsalku #akuBanggA

    BalasHapus
  3. Pengen tau nih, adat istiadat sm kebiasaannya apa ya kak?

    BalasHapus
  4. Mantap saya sebagai turunann langsung dari tobarak pertama nenek puang tarondong langi saya bangga...mari kita jaga kampung leluhur kita

    BalasHapus